Tgk H Muhammad Faisal, M.Ag Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry. Pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee. |
Menjadi manusia yang bersih dari dosa mungkin sulit ditemukan, kecuali bagi mereka yang telah dipilih oleh Allah untuk dilindungi dari perbuatan maksiat dan kesalahan. Sebagai makhluk yang diberi nafsu dan akal, melakukan kesalahan adalah hal fitrah yang sering dilakukan manusia. Salah satu kalam populer dalam Islam adalah, "Manusia adalah tempatnya salah dan dosa."
Namun, tidak semua manusia melakukan maksiat dengan niat melanggar aturan dan syariat Islam. Ada yang melakukannya tanpa disengaja, sementara yang lainnya melakukannya dengan sadar. Maksiat dalam konteks ini adalah segala perbuatan yang melanggar ketentuan syariat Islam, baik dengan meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan. Maksiat juga dapat diartikan sebagai segala perbuatan yang menghalangi kedekatan seorang hamba dengan Allah SWT.
Melakukan maksiat jelas memiliki dampak buruk bagi manusia. Dalam kitabnya, Syekh Muhammad Muflih Syamsuddin al-Muqdisi menjelaskan:
إنَّ الْعَبْدَ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ثُمَّ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَبْقَى أَسْوَدَ مُرْبَدًّا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا
Artinya, "Sungguh apabila seorang hamba melakukan dosa, maka akan ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam. Kemudian jika ia kembali melakukan dosa, maka akan ditulis lagi sebuah titik hitam, hingga hatinya menjadi hitam seluruhnya, tidak lagi mengenal kebenaran dan tidak mengingkari kemungkaran." (Syamsuddin al-Muqdisi, *al-Adabusy Syar’iyah*, juz I, halaman 188).
Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim, dikenal sebagai Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, menjelaskan bahwa titik hitam yang tertulis di hati akibat dosa seperti pakaian putih yang terkena kotoran hitam. Jika kotoran itu segera dibersihkan, maka dengan mudah dapat dihilangkan. Namun, jika dibiarkan, pakaian yang awalnya putih akan menjadi hitam dan tidak ada yang senang memakainya. Demikian pula dengan hati manusia; jika seseorang melakukan dosa dan segera bertobat, titik hitam di hatinya akan dihapus. Sebaliknya, jika ia menunda tobat, hatinya bisa menjadi hitam selamanya.
Dampak dosa akibat maksiat sangat buruk, bahkan tindakan-tindakan tersebut dapat menutupi hati manusia. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ. ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُو الْجَحِيمِ
Artinya, "Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka." (QS. Al-Mutaffifin: 14-16).
Syekh Abdul Hamid dalam tafsirnya menyatakan bahwa dosa yang dilakukan secara terus-menerus tidak hanya mempengaruhi ibadah seseorang tetapi juga potensinya di masa depan. Ayat 14 dari Surat Al-Mutaffifin mengungkapkan bahwa dosa yang dilakukan tanpa jeda untuk bertobat akan tertanam dalam hati, melekat dalam jiwa, dan menjadi watak yang menghalangi manisnya ketaatan.
Penyebab dosa dari maksiat sering kali bergantung pada bagaimana seseorang menjaga hatinya. Hati yang bersih dari penyakit hati (mazmumah) dan kerusakan lainnya akan sulit untuk diajak melakukan maksiat dan mudah dalam ketaatan. Namun, jika hati bermasalah, rusaknya hati menjadi faktor utama penyebab dosa. Sayyid Ahmad Bilal al-Bustani ar-Rifa’i al-Husaini mengutip perkataan Imam Hasan Basri:
اِنَّ فَسَادَ الْقَلْبِ مِنْ سِتَّةِ أَشْيَاءَ: أَوَّلُهَا يُذْنِبُوْنَ بِرَجَاءِ التَّوْبَةِ، وَيَتَعَلَّمُوْنَ العِلْمَ وَلَايَعْمَلُوْنَ، وَاِذَا عَمِلُوا لَايُخْلِصُوْنَ، وَيَأْكُلُوْنَ رِزْقَ اللهِ وَلَايَشْكُرُوْنَ، وَلَا يَرْضَوْنَ بِقِسْمَةِ اللهِ، وَيَدْفَنُوْنَ مَوْتَاهُمْ وَلَا يَعْتَبِرُوْنَ
Artinya, "Rusaknya hati disebabkan enam hal: (1) terus-menerus melakukan dosa dengan harapan tobat; (2) belajar ilmu namun tidak mengamalkannya; (3) beramal tanpa keikhlasan; (4) memakan rezeki Allah namun tidak bersyukur; (5) tidak ridha dengan pembagian Allah; dan (6) mengubur orang mati namun tidak mengambil pelajaran." (Ahmad Bilal al-Bustani, *Farhatun Nufus*, halaman 43).
Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari juga menjelaskan dampak dari dosa sebagai berikut: (1) Dampak lahiriah, seperti melanggar janji kepada Allah, malas dalam ibadah, dan hilangnya cahaya hidayah; (2) Dampak batiniah, seperti hati yang keras, tidak bisa menerima nasihat, dan lupa pada akhirat. Beliau menegaskan:
وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي المَعْصِيَةِ اِلَّا تَبَدُّلُ الْاِسْمِ لَكَانَ كَافِيًا، فَاِنَّكَ اِذَا كُنْتَ طَائِعًا تُسَمَّى بِالْمُحْسِنِ المُقْبِلِ، وَاِذَا كُنْتَ عَاصِيًا اِنْتَقَلَ اسْمُكَ اِلَى المُسِيْئِ المُعْرِضُ
Artinya, "Jika dalam maksiat tidak ada dampak selain perubahan nama, maka itu sudah cukup; sesungguhnya jika engkau taat, engkau dinamai orang baik yang menghadap Allah. Namun, jika bermaksiat, namamu berubah menjadi orang jelek yang berpaling." (*Tajul Arus al-Hawi li Tahdzibin Nufus*, halaman 44).
Maksiat mempengaruhi keimanan dengan berbagai cara, termasuk mengurangi kadar iman, menjauhkan seseorang dari Allah, menghilangkan ketenangan hati, mengikis rasa malu dan taqwa, serta menyebabkan futur dalam ibadah. Namun, Islam memberikan jalan untuk bertaubat dan kembali memperkuat iman. Taubat yang tulus akan menghapus dosa, sebagaimana Allah SWT berfirman:
سَيَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ (QS. Al-Ma'idah: 54)
Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya
﴿إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا﴾
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [Nisa: 17]
Dengan bertaubat dan memperbaiki diri, seorang Muslim dapat memperkuat keimanan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.