Dr. H. Iqbal, S.Ag.M.Ag |
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاه. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ فَإنِّيْ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْاٰنِ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. فَقَالَ الله تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْكَرِيْمِ: كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ
Hadirin jamaah Shalat Jum’at yang dirahmati Allah,
Marilah di kesempatan ini kita terus meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta rasa syukur atas segala Nikmat dan Rahmat yang telah dianugerahkan Allah Swt kepada kita. Orang-orang yang pandai bersyukur akan lebih sehat jiwa-raganya, karena dengan bersyukur merupakan cara yang paling murah untuk menyembuhkan dan memproteksi diri dari berbagai penyakit terutama penyakit kejiwaan.
Kita juga patut bersyukur bahwa saat ini kita hidup di negeri yang damai. Dengan kedamaian itulah kita bisa bekerja dan beribadah dengan aman dan nyaman. Karena itu menjadi tugas kita bersama untuk terus menjaga dan merawat kedamaian ini terutama di musim pilkada ini, kita boleh beda pilihan, tetapi kita satu dalam ukhwah dan persaudaraan. Tidak perlu gara-gara beda pilihan putus silaturrahmi dan persaudaraan. Prinsip inilah yang harus dipegang dan dikedepankan sehingga tercipta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang dicita-citakan, negeri yang dipenuhi kebaikan, keberkahan, dan ampunan Allah SWT.
Dalam al-Qur’an surah al-‘araf ayat 96, Allah berfirman, yang artinya:
Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi sekiranya mereka mendustakannya, maka Kami akan berikan siksaan sebagaimana yang mereka kerjakan.(QS. Al-A'raf: 96).
Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah swt.
Sebagai orang muslim dan beriman, kita mendapat Amanah dari Sang Pencipta sebagai khalifah di muka bumi ini. Salah satu tugas kita adalah untuk menegakkan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran (nahi munkar). Karenanya menjadi kewajiban kita semua untuk membuktikan bahwa kita ini adalah umat terbaik (khaira ummah) yang selalu mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam surat Ali Imran ayat 110, Allah swt berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ
Artinya: “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh pada yang ma'ruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah...” (QS Ali Imran ayat 110).
Imam ath-Thabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan:
أَمَّا قَوْلُهُ "تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ" فَإِنَّهُ يَعْنِيْ تَأْمُرُوْنَ بِالْإِيْمَانِ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَالْعَمَلِ بِشَرَائِعِهِ، "وَتَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنْكَرِ" يَعْنِيْ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الشِّرْكِ بِاللهِ وَتَكْذِيْبِ رَسُوْلِهِ وَعَنِ الْعَمَلِ بِمَا نَهَى عَنْهُ
Artinya: “Adapun firman Allah ta’muruna bil ma’ruf (menyuruh kebaikan), maksudnya adalah mengajak untuk beriman kepada Allah, Rasulullah, dan mengamalkan syariat. Sementara wa tanhauna ‘anil munkar (mencegah yang munkar), maksudnya mencegah syirik, mendustakan Rasulullah, dan mengerjakan yang dilarang Tuhan.”
Sidang jamaah Jumat yang dirahmati Allah SWT.
Dalam beberapa ayat, penyebutan kalimat “amar makruf” sering disandingkan dengan kalimat “nahi munkar”. Kemudian kalimat “Nahi Munkar” sering disandingkan dengan kalimat “Fahsyai” (keji/jelek). Bahkan pemahaman tentang Munkar sering kali disamakan dengan Maksiat, padahal antara dua kalimat tersebut mempunyai makna yang berbeda. Munkar, mempunyai makna yang lebih luas daripada maksiat. Setiap sesuatu yang dapat membahayakan kepentingan umum dapat disebut sebagai kemunkaran, meskipun tidak dianggap maksiat. Karenanya, kalau ada orang gila yang berzina di depan umum, wajib dicegah, meskipun perbuatan zina bagi orang yang gila tidak termasuk dalam kategori maksiat. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan:
الْمُنْكَرُ أَعَمُّ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، إِذْ مَنْ رَأَى صَبِيًّا أَوْ مَجْنُوْنًا يَشْرَبُ الْخَمْرَ فَعَلَيْهِ أَنْ يُرِيْقَ خَمْرَهُ وَيَمْنَعُهَ، وَكَذَا إِنْ رَأَى مَجْنُوْنًا يَزْنِي بِمَجْنُوْنَةٍ أَوْ بَهِيْمَةٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْهُ
“Munkar lebih umum dari maksiat. Karenanya, apabila melihat anak kecil atau orang gila minum khamar, wajib diambil minumannya (dibuang) dan dilarang. Begitu pula, jika melihat orang gila berzina, baik dengan sesama orang gila ataupun binatang, hukumnya wajib untuk dicegah.”
Meskipun demikian, pelanggaran terhadap perintah Allah baik dalam bentuk Fahsyai, maksiat, dan mungkar, semuanya wajib dicegah karena sama-sama sebagai usaha melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya.
Jamaah Jumat yang dimulikan Allah SWT,
Upaya melaksanakan Nahi Munkar (mencegah kemunkaran) agar tidak berkembang di tengah masyarakat, sama dengan mencegah turunnya adzab Allah agar tidak menimpa seluruh negeri. Sebab sudah menjadi sunnatullah, manakala kemungkaran terjadi di mana-mana dan tidak ada yang peduli, masyarakat acuh tak acuh, tidak saling melarang, maka akan Allah turunkan adzab di sana, dan kalau adzab itu turun, tidak hanya menimpa kepada pelaku-pelaku kemungkaran saja, tetapi orang-orang baik, anak-anak tak berdosa, orang tua jompo yang tak berdaya, semua akan merasakan dampaknya.
Inilah sebahagian makna peringatan Allah dalam QS. Al-Anfal, ayat 25:
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Artinya : “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS. Al-Anfal/8: 25)
Kaum Muslimin rahimakumullah.
Umat-umat terdahulu banyak yang dibinasakan Allah lantaran mereka tidak lagi saling mencegah kemunkaran yang terjadi di masyarakatnya, sebagaimana yang dialami Bani Israil, dan umat-umat lainnya yang mengabaikan nahi munkar. Allah berfirman:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْۢ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ عَلٰى لِسَانِ دَاوٗدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۗذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ ٧٨ كَانُوْا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُّنْكَرٍ فَعَلُوْهُۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ ٧٩
Artinya : “Orang-orang yang kufur dari Bani Israil telah dilaknat (oleh Allah) melalui lisan (ucapan) Daud dan Isa putra Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sungguh, itulah seburuk-buruk apa yang selalu mereka lakukan.” (QS. Al-Ma’idah/5: 78-79).
Jamaah jumat yang dirahmati Allah SWT.
Dalam kehidupan kita sampai saat ini, kemunkaran-kemunkaran terus terjadi, apakah disekeliling kita, di tengah-tengah masyarakat, muncul dengan berbagai bentuknya baik dilakukan melalui perbuatan langsung maupun melalui media sosial. Karena itu apapun bentuknya, kemungkaran tersebut wajib dicegah.
Dalam hadis Arbain menyebutkan, ada tiga cara mencegah kemunkaran secara proporsional.
عَنْ أَبِيْ سَعيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْت
رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: (مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطعْ فَبِقَلبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيْمَانِ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49].
Pertama, dengan tangan (biyadihi). Dalam bahasa Arab, tangan (yadon) seringkali dimaknai dengan kekuatan dan kekuasaan. Sehingga, bagi sesiapa saja yang memiliki kekuasaan, dengan kekuasaannya ia harus mencegah berbagai kemunkaran.
“Seorang yang diamanahkan jabatan, mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati/walikota, dan jabatan-jabatan lain, sangat memiliki kesempatan untuk menghilangkan kemunkaran. Mereka punya kewenangan untuk membuat aturan-aturan, perangkat dan peralatan untuk mencegah terjadinya kemungkaran ditempatnya. Pemerintah tidak boleh abai, tidak boleh membiarkan apalagi mendukung lewat kebijakan-kebijakannya terhadap terjadinya kemungkaran. Karena itu, melalui tangan pemerintahlah sangat menentukan baik atau buruknya prilaku masyarakat di suatu daerah.
Dalam memahami makna kalimat “Yadun” pada umumnya para ulama sepakat bahwa, yang dapat mengubah kemungkaran dengan kekuasaan adalah para penguasa atau pemimpin ummat Islam dalam wilayah-wilayah umum. Mereka adalah pemegang tampuk kekuasaan dalam sebuah masyarakat Islam. Sehingga mereka punya kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak rakyat kepada kebaikan-kebaikan, kepada amal shalih, kepada ibadah, juga menghentikan kemunkaran dan maksiat yang ada di tengah-tengah mereka. Maka tanggung jawab seorang pemimpin pada prinsipnya adalah sangat berat. Mereka punya kewajiban mencegah kemungkaran, mengingkari kemungkaran, dan menghilangkan kemungkaran di tengah masyarakat. Dengan kekuasaan itu mereka bisa menundukkan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah. Karena ini sebuah kewajiban, maka mereka berdosa jika tidak melakukannya.
Kedua, dengan Lisan (billisan). Bagi umat Islam yang tidak memiliki kekuasaan dapat memaksimalkan potensinya dengan cara lisan. Misalnya menyampaikan nasihat secara baik, meluruskan yang tidak benar, atau bahkan mendebat mereka yang terus-terusan mempromosikan kemungkaran dan kemaksiatan b aik secara terang-terangan maupun melalui alam dunia maya.
Saat ini, termasuk di Aceh, kita sangat prihatin dan menyayangkan oleh ulah dan prilaku beberapa orang yang terus melakukan kejahatan, kemaksiatan, dan kemungkaran yang terus dipertontonkan di media sosial yang tidak lazim dan tidak layak dilakukan oleh seorang muslim. Fitnah, upatan, kedengkian, aib, bahkan aib-aib pribadi dan keluarga terus dipertontonkan seperti mainan-mainan saja. Karena itu, mari kita cegah dengan lisan medsos kita melaui komen-komen positif, minimal kita tidak ikut-ikutan terlibat.
Ketiga, mencegah dengan hati
Mencegah dengan hati, meskipun derjatnya selemah-lemahnya iman, akan tetapi bagi seorang muslim apalagi tidak memiliki kekuasaan dan kecakapan lisan, maka cara yang ketiga ialah dengan hati kita. Setiap muslim berkewajiban mencegah kemungkaran. Tatkala melihat kemungkaran, hati orang beriman akan membenci dan meninggalkan atau berpindah dari kemungkaran tersebut.
Hadis di atas menerangkan tentang cara terbaik dalam menanggulangi kemunkaran. Menurut Ibnu Rajab, pengingkaran suatu kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap muslim dalam segala keadaan. Adapun pengingkaran dengan tangan dan lisan dipandang menurut kemampuan dan kesanggupan.
Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah SWT,
Menegakkan Kebaikan Amar makruf dan mencegah kemunkaran adalah kewajiban semua orang untuk terwujudnya Masyarakat yang damai, nyaman, aman, dan selalu mendapat keberkahan dari Allah swt. Karena itu, dari sisa umur yang diberikan Allah kepada kita mari terus berbuat kebaikan dan menghindar diri dari kemungkaran. Karena usaha ini juga sebagai tanggung jawab social kita di mana setiap individu memiliki peran dan tingkatan masing-masing dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Secara keseluruhan, amar makruf nahi mungkar bukan hanya sekadar ajakan atau larangan, tetapi merupakan bagian integral dari kehidupan beragama yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هٰذَا فَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ