Dr. Armiadi Musa, MA |
Atas segala limpahan nikmat dan karunia Allah marilah segala puji kita persembahkan kepadaNya. Allah telah mencurahkan berbagai rizki yang tak terhingga dan tak pernah putus sepanjang zaman kepada makhluknya, baik yang berupa kesehatan maupun kesempatan, sehingga saat ini kita dapat berkumpul di tempat yang mulia ini dalam rangka menunaikan kewajiban shalat Jum’at. Semoga shalawat dan taslim tercurah kepada uswah kita Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang atas jasa-jasa dan perjuangan beliau cahaya Islam ini tersampaikan kepada kita, Semoga shalawat serta salam juga tercurahkan kepada keluarganya, para sahabatnya dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.
Izinkanlah saya berwasiat selaku khatib, baik bagi diri saya pribadi, maupun bagi jamaah sekalian, untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketakwaan diri kita kepada Allah Swt. Terdapat sekitar 238 kali perintah takwa di dalam Al-Quran dengan bentuk kata yang beragam, seperti Ittaqullâh, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah. Pengulangan yang teramat sering ini menunjukkan bahwa, takwa sangatlah penting artinya bagi setiap muslim. Karena hanya dengan takwa kepada Allah sajalah, kita akan dapat hidup bahagia dan selamat, baik di dunia ini maupun di akhirat.
Sidang Jama’ah Juma’at yang mulia
Era digital telah membawa arus informasi yang deras, memenuhi diskursus di ruang-ruang publik, terutama sejak maraknya penggunaan media sosial. Teknologi memudahkan manusia untuk berkomunikasi hanya melalui perangkat di genggaman tangan, yaitu ponsel. Dunia yang terhubung secara instan ini bukan lagi sekadar khayalan, melainkan kenyataan yang ada di depan mata kita. Teknologi telah merevolusi hampir setiap aspek kehidupan, mengubah cara kita bekerja, berkomunikasi, belajar, bersosialisasi, bahkan beribadah. Namun di sisi lain, kehadiran dan kecanggihan media social membuka ruang yang lebar bagi kehadiran informasi bohong, fitnah dan hoaks.
Perkembangan ini melanda hampir semua orang di berbagai belahan dunia, tanpa memandang agama, wilayah geografis, suku, ras, maupun etnis. Bill Gates pernah mengatakan bahwa teknologi adalah alat yang sangat kuat, dapat digunakan untuk membangun atau menghancurkan, pilihannya ada di tangan kita, sebagaimana teknologi sering diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Namun di sisi lain kemajuan teknologi tidak akan bisa menggantikan posisi guru. Tidak ada teknologi yang dapat menggantikan peran seorang guru dalam aspek afektif dan keberkahan dalam pembelajaran ilmu, apalagi ilmu agama.
Dalam sebuah tulisan di Media Indonesia, Menteri Agama RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa seiring perkembangan Teknologi Informasi saat ini, hoaks seakan tengah memasuki fase Euforia di kalangan masyarakat Indonesia. Para pengguna media seolah memiliki perasaan gembira yang berlebihan dalam penggunaannya, menjadikan media sosial sebagai ladang utama untuk menyemai dusta dan prasangka, tanpa mempertimbangkan fakta. Data terbaru hasil riset yang dirilis oleh We Are Social: Indonesian Digital Report, bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan 8 jam 52 menit perharinya untuk mengakses internet dan bermain sosial media.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia merilis data mengejutkan: sepanjang Agustus 2018 hingga Desember 2023, terdapat 800.000 situs penyebar hoaks di Indonesia. Angka ini mencerminkan kondisi yang memprihatinkan, memilukan, dan memalukan. Ironisnya, berita palsu dalam bentuk hoaks tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat awam, tetapi juga oleh kalangan intelektual dan tokoh bangsa. Mereka pun tidak luput dari paparan informasi yang menyesatkan.
Kondisi ini semakin parah di musim pemilu dan pilkada. Fitnah, ghibah, dan hoaks dikemas secara atraktif, diframing sedemikian rupa dan diekspos berulang-ulang di media sosial. Akibatnya, masyarakat kesulitan membedakan antara berita yang benar dan yang salah, antara dusta dan fakta, serta antara hoaks dan realita. Demi mencapai tujuan, para pelaku hoaks sering menghalalkan segala cara, bahkan membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.
Dalam Islam, penyebaran berita bohong adalah perbuatan yang sangat tercela. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 6:
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."
Ayat ini menegaskan pentingnya tabayyun (klarifikasi) dalam menerima dan menyebarkan informasi. Sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk berhati-hati dan memastikan kebenaran suatu berita sebelum mempercayainya atau menyebarkannya kepada orang lain.
Imam Ibnu katsir dalam tafsir Ibn Katsir juz 7 hal 370 mengatakan bahwa, Allah SWT memerintahkan orang mukmin untuk memeriksa dengan teliti berita dari orang fasik, dan hendaklah mereka bersikap hati-hati dalam menerimanya. Demikan juga Syeikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir Jilid 13, halaman 456, menjelaskan bahwa kata Fa siqu dan kata Binaba-in pada ayat ini disebutkan dalam bentuk nakirah. Hal ini menunjukkan pengertian umum yang mencakup semua orang fasik dan semua bentuk berita.
Dengan demikian ayat ini memberikan tuntunan kepada kita, agar berhati-hati, tidak gegabah dan tidak tergesa-gesa dalam menerima sebuah berita, tetapi selalu melakukan klarifikasi atau tabayyun secara seksama agar terukur kredibilitas sebuah informasi. Jika tidak bijak menyikapinya, tanpa ber-tabayyun maka yakin dan percaya, bahwa dampak buruknya dipastikan terjadi.
Surah al hujurat ayat 6 juga menekankan kepada kita untuk tidak boleh mempercayai sebuah berita tanpa melakukan klarifikasi atau tabayyun, setiap muslim perlu membiasakan diri melakukan uji telaah akurasi dan validasi informasi,serta kritis menggunakan pendekatan literasi. Karena itu pula Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Dalam fatwa ini MUI mengharamkan memproduksi, menyebar dan atau membuat informasi tentang hoaks, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian.
Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Bagaimana al-Qur’an memandang orang yang dengan sengaja merekayasa sebuah informasi untuk memfitnah dan menjatuhkan pihak tertentu, kelompok tertentu, dan institusi tertentu demi kepentingan tertentu pula. Maka dalam surat al ahzab ayat 58 Allah tegaskan:
Artinya: Dan orang orang yang menyakiti orang orang mukmin laki laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (al-ahzab: 58)
Imam ibnu katsir dalam tafsirnya al-Qur'anul adhim jilid 5 halaman 480 mengatakan bahwa ayat ini secara umum merupakan larangan kepada siapapun untuk menisbatkan kepada seseorang sesuatu yang tidak pernah ia kerjakan. Sedangkan Syeikh mustafa al-maraghi dalam tafsirnya al-Maraghi jilid 8 halaman 23 menjelaskan maksud ayat tadi bahwa orang orang yang menisbatkan sesuatu kepada orang mukmin baik laki laki maupun perempuan yang mereka tidak melakukannya , maka telah melakukan kebohongan dan dosa yang nyata.
Musim-musim pemilu dan pilkada seperti ini, kita menyaksikan betapa dahsyatnya rekayasa berita yang dilakukan oleh berbagai pihak, bahkan orang-orang yang mengklaim dirinya orang yang beriman untuk memfitnah pihak-pihak tertentu yang kemudian disebarluaskan secara sangat massif ke berbagai media massa, tanpa merasa berdosa yang harus dipertanggungjawabkan di hari akhirat nanti. Bahkan saat ini keahlian merekayasa informasi telah menjadi sebuah profesi yang dibayar dan dihargai seperti yang dilakukan para buzzer.
Jama’ah jum’at yang mulia
Allah SWT mengancam keras para penyebar berita hoax dan dusta, sebagaimana ditegaskan dalam al quran surah An Nuur ayat 15 berikut ini:
Artinya: (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut; kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun; dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu masalah besar. (Q.S. An Nur :15)
Dalam Tafsir Al Munir Jilid ke 9 halaman 464, Syeikh Wahbah Az-Zuhaili, mengatakan bahwa ayat ini merupakan teguran Allah bagi pembawa dan penyebar berita dusta. Ada tiga bentuk perbuatan dosa yang menyebabkan mereka tertimpa adzab yang besar. Pertama; Membuat berita bohong. Kedua, Menyebarkan suatu berita yang belum jelas kredibilitasnya, Ketiga, Menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan remeh, padahal dalam pandangan Allah SWT adalah dosa yang amat besar.
Untuk mengatasi permasalahan ini, kaum muslimin perlu mengedepankan nilai-nilai agama, memperkuat iman dan meningkatkan taqwa kepada Allah dan meningkatkan pengetahuan tentang Islam dalam navigasi digital mereka. Selain itu, menerapkan adab dan etika Islam dalam setiap interaksi di era digital ini akan membantu kaum muslimin menjadi pengguna teknologi yang bertanggung jawab.
Jama’ah Jum’at yang berbahagia
Setidaknya ada dua sikap yang perlu diambil dalam merespons kehadiran media sosial di era digital ini. Pertama, menyadari bahwa media sosial hanyalah washilah, yaitu alat atau media perantara. Kesadaran ini akan mendorong kita untuk tidak terbuai oleh media sosial itu sendiri, melainkan fokus pada tujuan utama dari penggunaannya. Kedua, memanfaatkan media sosial sebagai sarana yang tidak hanya baik tetapi juga bermanfaat. Penggunaan media sosial hendaknya tidak menimbulkan kemudaratan bagi diri sendiri maupun orang lain. Akan lebih baik lagi jika media sosial dapat digunakan untuk memberikan manfaat bagi orang lain, misalnya melalui konten yang edukatif dan positif yang diunggah, disukai, atau dibagikan. Dengan dua sikap ini, insya Allah, kaum muslimin dapat memanfaatkan media sosial secara bijak dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.