Tgk H Fakhruddin Lahmuddin, S.Ag, M.Pd |
Beberapa tahun yang lalu, masyarakat Aceh diberikan ujian yang sangat besar, sebuah musibah yang tidak pernah disangka akan terjadi, yaitu tsunami yang maha dahsyat. Sebegitu dahsyatnya, banyak anggota masyarakat yang langsung merasakan dampak peristiwa itu dan hingga kini belum mampu melupakan kepedihan serta rasa kehilangan yang mereka alami. Bahkan, menurut banyak cerita yang berkembang, banyak orang saat itu tidak lagi berusaha menyelamatkan diri karena mereka mengira bahwa hari kiamat telah tiba. Musibah yang melanda Aceh dan kawasan sekitarnya tidak hanya merenggut banyak nyawa manusia, tetapi juga menyebabkan kesedihan dan trauma berkepanjangan. Lebih dari 200 ribu jiwa masyarakat Aceh saat itu terenggut. Lantas, apa yang dapat kita pelajari dan ambil hikmahnya hari ini?
Musibah seperti ini adalah ujian dari Allah SWT bagi umat manusia. Ujian tersebut dapat dilihat dari berbagai sisi dan jenisnya. Ada musibah yang disebabkan oleh ulah kita sendiri karena kurangnya rasa syukur atau durhaka kepada Allah, dan ada pula yang merupakan ujian dari Allah agar makhluk-Nya menjadi lebih taat dan bertakwa kepada-Nya. Apapun itu, musibah telah menjadi takdir Allah sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hadid Ayat 22:
"Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah."
Apapun jenis musibah, tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang dapat lari dari takdir-Nya. Jika Allah sudah menghendaki, maka pasti hal itu akan terjadi. Manusia ditakdirkan untuk hidup, kemudian mati; ditakdirkan untuk sehat, kemudian sakit; lahir, kemudian tua. Nabi-nabi yang sangat disayangi Allah SWT pun tetap diuji dengan berbagai ujian yang berat, apalagi kita hanya manusia biasa. Tidak ada di antara kita yang dapat menghindar dari ketentuan Allah ketika suatu musibah datang dan melanda suatu negeri. Allah berfirman dalam Surat At-Taubah Ayat 51:
"Katakanlah: 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman hendaknya bertawakal.'"
Secara ringkas, ada beberapa hal yang ingin khatib sampaikan sebagai inti dari perenungan kita terhadap peristiwa yang sangat memilukan ini.
Pertama, kita harus terus berupaya mempertebal keimanan, ketakwaan, dan tawakkal kita kepada Allah SWT. Tawakkal berarti berserah diri, yaitu kondisi di mana pikiran, hati, dan indera kita sepenuhnya berada dalam kepasrahan dan rasa tunduk kepada Allah. Manifestasi dari keberadaan seseorang dalam kondisi berserah diri itu dapat diwujudkan dalam bentuk bertambahnya rasa sabar dalam menjalani hidup yang semakin hari semakin menantang, memperbanyak ibadah dan dzikir mengingat arti hidup yang sementara ini, serta senantiasa berdoa kepada Allah agar kita terus mampu bersabar atas segala ujian dan cobaan yang akan Allah timpakan kepada kita di masa depan. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa orang atau masyarakat yang mendapat cobaan dari Allah adalah orang atau masyarakat yang Allah sayangi:
"Sesungguhnya Allah jika mencintai hamba-Nya, maka Dia akan mengujinya."
Dalam konteks kehidupan yang lebih luas, bersabar juga berarti berupaya menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang kontraproduktif terhadap makna hidup itu sendiri, seperti melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah SWT, hanya demi mendapatkan kemewahan duniawi yang bersifat sementara. Sabar juga berarti rela untuk terlihat sederhana dan apa adanya di mata makhluk Allah lainnya, karena kita tahu bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah bagaimana penilaian Allah terhadap kita, bukan penilaian makhluk-Nya, sebagaimana yang tergambar dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian." (HR. Muslim no. 2564)
Kedua, dalam banyak dalil agama, baik ayat maupun hadits, kita diajarkan untuk selalu menoleh ke belakang dan merenungkan apa yang telah terjadi di masa lalu. Bukan untuk ditangisi atau diratapi tanpa kesudahan, tetapi untuk diambil pelajarannya dan digunakan untuk menata langkah ke depan. Allah berfirman dalam Surah As-Saffaat Ayat 73:
"Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan."
Aceh telah melewati beberapa peristiwa memilukan dalam sejarahnya, yang terakhir adalah konflik bersenjata, tsunami, dan COVID-19. Banyak korban yang telah jatuh dalam berbagai peristiwa tersebut, namun apakah kita sebagai sebuah masyarakat yang dikenal agamis telah sepenuhnya belajar dari pengalaman yang lalu? Mungkin belum. Rasulullah menegaskan dalam sebuah haditsnya bahwa merugilah orang yang kualitas harinya masih sama dengan kemarin dan terlaknatlah orang yang kualitas harinya lebih buruk dari kemarin.
"Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, dan barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dialah tergolong orang yang merugi, dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang celaka." (HR. Al Hakim)
Ketiga, dalam memaknai peristiwa besar yang memilukan itu, kita juga harus bertekad untuk melakukan perubahan-perubahan yang besar dalam hidup kita. Berserah diri sebagaimana yang telah kita bicarakan tadi, bukan berarti meninggalkan konsep ikhtiar. Sebaliknya, jika musibah itu kita artikan sebagai teguran Allah yang disebabkan oleh sesuatu yang mungkin telah menyebabkan Allah murka, maka ikhtiar untuk menghadirkan perubahan dalam hidup kita dan menciptakan kondisi yang membuat Allah ridha kepada kita menjadi wajib, walaupun terkadang kita berada dalam kondisi yang sangat membuat kita putus asa. Firman Allah dalam Surah Ar-Ra'du Ayat 11:
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
Satu usaha nyata yang dapat kita lakukan bersama untuk menuai ridha Allah kepada daerah kita yang kita cintai ini adalah dengan menerapkan aturan-aturan Allah dalam kehidupan kita secara menyeluruh. Sudah saatnya kita menyadari dan memperingatkan orang-orang di sekitar kita bahwa janji Allah adalah haq, baik yang berupa kebaikan atau nikmat maupun dalam bentuk musibah. Mari kita senantiasa mengajak orang-orang yang selama ini kurang peduli terhadap upaya penguatan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat, khususnya di Aceh, untuk kembali ke jalan Allah. Jika ini tidak kita indahkan, maka kekufuran itu kita takutkan akan kembali menjadi kemurkaan Allah SWT dalam bentuk musibah lainnya.
Keempat, kerapuhan nilai dalam masyarakat terkadang merupakan konsekuensi dari pudarnya kepedulian kolektif yang dipicu oleh perubahan tatanan kehidupan sosial, politik, dan budaya. Akibatnya, masyarakat secara tidak sadar dan perlahan tergiring untuk menjadi lebih permisif dan masa bodoh terhadap hal-hal yang tidak terkait langsung dengan diri mereka. Akhirnya, pudarlah nilai-nilai amar ma'ruf nahi mungkar dari sanubari masyarakat dan bertumbuh suburlah nilai-nilai negatif atau perilaku buruk yang semakin hari semakin sulit untuk disembuhkan. Fenomena seperti inilah yang dapat menyebabkan turunnya teguran atau azab dari Allah yang, apabila itu terjadi, bukan hanya akan dirasakan oleh orang-orang yang zalim saja, tetapi juga dirasakan oleh seluruh komponen masyarakat tersebut. Allah berfirman dalam Surah Al-Anfal Ayat 25:
"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya."
Di dalam ayat di atas, dengan tegas Allah mengingatkan kita bahwa menyelamatkan suatu negeri dari fitnah atau musibah besar adalah tugas kolektif, tidak cukup hanya dengan menjaga keshalihan diri sendiri dan menutup mata terhadap kemaksiatan yang terjadi di sekeliling kita. Bahkan Allah menjadikan kepedulian sosial sebagai indikator untuk mengukur kadar keimanan seseorang, sebagaimana yang tergambar dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim:
"Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri." (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Sebagai penutup khutbah singkat ini, mari sekali lagi kita renungkan dan saling mengingatkan tentang beberapa hal:
Mari kita terus mengingatkan sesama akan pentingnya bersabar terhadap musibah, karena setiap musibah adalah takdir Allah yang tidak bisa ditolak. Yang membedakan adalah bagaimana sikap kita dalam menghadapi musibah tersebut.
Sangat penting untuk selalu belajar dari masa lalu, baik yang berupa kegemilangan agar dapat kembali diwujudkan, maupun yang berupa malapetaka agar dapat dihindari di masa yang akan datang. Allah kerap menekankan dalam Al-Qur'an bahwa kemenangan hanya milik orang-orang yang selalu melihat keterpurukan di masa lalu.
Kita sebagai bangsa harus terus membuat komitmen dan tekad untuk menghadirkan perubahan yang signifikan dalam hidup kita. Kehidupan seorang Muslim tidak boleh stagnan atau malah menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Yang terakhir, kita harus menyadari bahwa kolektivitas sangat diperlukan dalam membangun masyarakat yang madani. Kolektivitas tidak hanya berlaku ketika Allah memberikan kemakmuran bagi sebuah masyarakat, tetapi juga berlaku ketika Allah menimpakan musibah kepada mereka.
Mudah-mudahan khutbah singkat ini bermanfaat bagi khatib sendiri dan juga bagi jamaah sekalian. Amin.
Khatib Pimpinan Dayah Tgk Chik Umar Diyan Indapuri Aceh Besar dan Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Aceh.