
![]() |
Dr. Rer. Nat. Ilham Maulana, S.Si |
Pernahkah kita membayangkan bahwa kita hidup di era Rasulullah saw, saat beliau masih di periode Mekkah? Seandainya kita termasuk di antara masyarakat Mekkah yang berkumpul untuk mendengarkan Muhammad saw bercerita tentang perjalanan pergi-pulang satu malamnya yang mengambil route Masjidil Haram - Masjidl Aqsha Sidratul Muntaha, apakah kita akan termasuk orang-orang yang meyakini kebenaran cerita Isra Mi’raj tersebut atau justru meragukannya?
Kenyataannya, hari ini sebagai seorang mukmin, kita semua meyakini kebenaran cerita tersebut, meskipun sulit dipahami oleh logika manusia biasa. Hal ini kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pengkondisian dan pembelajaran doktrin agama serta seluruh kisah-kisahnya yang kita terima dari orangtua, guru dan ustadz sejak kita masih belia, sehingga tidak ada penolakan sama sekali untuk kisah-kisah seperti ini, meskipun sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya juga secara logika.
Akhir cerita mungkin akan berbeda jauh, jika kita hidup saat itu, dan ikut mendengarkan langsung cerita Rasulullah saw. Kemungkinan besar kita justru akan bergabung bersama Abu Jahal yang sama sekali tidak meyakini kebenaran kisah Isra Mi’raj ini. Hal ini juga berlaku pada keyakinan kita secara umum terhadap Allah, dan terhadap agama Islam. Seandainya kita tidak dilahirkan dalam sebuah keluarga muslim, apakah kita akan termasuk orang yang mencari kebenaran hingga menemukan Islam, atau sebaliknya?
Diakui atau tidak, Isra Mi’raj merupakan peristiwa yang sulit sekali diterima oleh logika normal manusia. Bagaimana tidak, jarak yang memisahkan antara Masjidil Haram dengan Masjidil Aqsha mencapai 1.239 kilometer (769 mil) dalam garis lurus. Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak sejauh ini pada masa itu, dengan kenderaan unta, bisa mencapai satu bulan atau bahkan lebih. Apalagi Muhammad saw saat itu juga menyebutkan bahwa Masjidil Aqsha itu hanya persinggahan. Perjalanan berikutnya ternyata lebih jauh lagi, bahkan menembus langit ke tujuh, yaitu mencapai Sidratul Muntaha, yang sudah melibatkan dimensi berbeda. Jaraknya jauh sekali dari bumi, sehingga saking jauhnya, para ilmuan sering menggunakan masa tempuh cahaya ketika merepresentasikan jarak benda-benda langit ini. Tak cukup sampai di situ, perjalanan itu masih harus dikalikan dua untuk pergi dan pulang.
Alasan inilah yg menyebabkan sebagian besar penduduk Mekkah pada saat itu tidak percaya atau minimal meragukan kebenaran cerita Muhammad saw. Abu Jahal, yang memang sejak awal membenci dakwah Nabi, pun merasa mendapatkan momentum bagus untuk membuktikan kepada seluruh penduduk Mekkah bahwa Muhammad memang tidak waras, sehingga pembicaraannya pun ngawur dan tidak sesuai logika. Abu Jahal berusaha keras mempengaruhi penduduk Mekkah untuk mempercayai bahwa Muhammad tidak waras dan tak perlu didengar omongannya. Tentu saja banyak orang yang terpengaruh dengan hal ini. Namun berbeda dengan sosok yang bernama Abu-Bakar, yang ketika mendengar cerita ini, justru berujar:
إِنْ كَانَ قَالَهُ فَقَدْ صَدَقَ
“Jika dia (Nabi Muhammad SAW) yang mengatakannya, maka sungguh dia telah berkata benar."
Keyakinan Abu-Bakar akan setiap perkataan Nabi inilah yang membuatnya diberi gelar “As-Shiddiq” yang bermakna yang membenarkan.
Kualitas keyakinan seperti Abu-Bakar As-Shiddiq ini didasarkan pada keimanan yang kuat akan kebenaran Allah SWT dan rasul-Nya, sehingga apapun yang difirmankan oleh Allah swt atau disampaikan oleh Rasulullah saw akan diyakini sepenuhnya oleh Abu-Bakar sebagai kebenaran, meskipun ia tak mampu mencernanya dengan logika. Keimanan tanpa syarat ini diungkapkan dalam surat Al-Baqarah ayat 285:
اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
Rasul (Muhammad) beriman pada apa (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang mukmin. Masing-masing beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata,) “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Mereka juga berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, wahai Tuhan kami. Hanya kepada-Mu tempat (kami) kembali.” (Al-Baqarah 285)
Kalimat “sami’na wa atha’na” dalam ayat tersebut bermakna bahwa apapun yang kami dengar akan kami yakini dan akan kami taati. Basis keyakinan seperti inilah yang membuat Abu Bakar tidak merasa kesulitan sedikitpun untuk membenarkan kisah Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. Bahkan jikapun ada kisah lain yang jauh lebih ekstrim untuk dipercaya, Abu Bakar akan tetap yakin dengan kebenaran kisah tersebut, selama itu berasal dari Allah atau Rasul-Nya.
Di akhir zaman seperti sekarang, kualitas iman seperti Abu Bakar sangat sulit ditemukan. Hal ini disebabkan oleh terdegradasinya keyakinan akan konsep ketuhanan, dan tergantikan oleh logika keilmuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat membuat manusia sangat cenderung untuk percaya dan mengandalkan logikanya. Tak jarang, kisah-kisah tak biasa dan mukjizat para Nabi dianggap hanya cerita dongeng yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Ukuran kebenaran hari ini pun sedikit banyak mulai bergeser. Sesuatu hanya dianggap benar jika bisa dibuktikan dengan logika ilmiah keilmuan.
Ironisnya, logika yang diagung-agungkan ini pun sesungguhnya sangat relatif, dan memiliki keterbatasan. Logika seseorang terbentuk melalui kombinasi faktor bawaan, pengalaman, pendidikan, dan pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, bisa jadi sesuatu yang logis bagi seseorang justru sangat tidak masuk akal bagi yang lainnya, tergantung sekali pada latar belakang orang itu sebelumnya.
Di sisi lain, logika itu berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Oleh karena itu banyak sekali konsep yang dulunya tidak dimengerti dan tidak diakui, baru disadari kebenarannya belakangan, tak terkecuali konsep-kosep islam. Salah satu konsep Islam yang disebutkan oleh Rasulullah saw sejak 1400-an tahun lalu adalah larangan untuk mencela makanan. Kebenaran konsep ini baru dibuktikan tahun 1900-an oleh Dr. Masaru Emoto dari Jepang. Ia menemukan bahwa celaan terhadap air atau segala sesuatu yang mengandung air akan merusak formasi kristal air, sehingga akan memberikan pengaruh tidak baik jika dikonsumsi. Contoh ini bukanlah satu-satunya di antara konsep ajaran Islam yang terkesan tidak logis pada masa dulu, namun terbukti secara ilmiah di masa sekarang. Contoh ini sekaligus membuktikan bahwa meskipun ilmu pengetahuan dianggap berkembang sangat pesat saat ini, namun ternyata logika keilmuan manusia terkesan sangat lamban dan sangat tertinggal dibandingkan dengan konsep-konsep ajaran Islam.
Ketertinggalan, keterbatasan, dan relativitas logika ini membuktikan bahwa ia sama sekali tidak bisa dijadikan satu-satunya pengukur kebenaran. Sebaliknya, Iman adalah tolok ukur dan instrumen utama untuk menilai kebenaran. Itulah salah satu hikmah mengapa ilmu pengetahuan disebutkan oleh Allah belakangan setelah iman.
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ…
“Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Al-Mujadilah 11)
Maka, filosofi peristiwa Isra Mi’raj-pun masih belum mampu dicerna dengan sempurna oleh logika keilmuan manusia. Mungkin nanti di masa depan, para ilmuan akan tercengang, ketika secara ilmiah berhasil memahami Isra Mi’raj ini dengan logika keilmuan mereka. Sementara itu, bagi orang yang beriman, keyakinan mereka yang kokoh dan tanpa syarat akan memudahkan mereka untuk menerima dan meyakini kebenaran kisah ini tanpa harus menunggu bukti-bukti logisnya.