Surat Al-Ankabut Ayat 16-17:
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, "Ya Tuhanku, jauhkanlah aku dan anak cucuku dari penyembahan berhala. "Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak orang. Maka barang siapa yang mengikuti aku, maka dia termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ankabut ayat 16-17)
Pada ayat di atas, Nabi Ibrahim mengajukan doa kepada Allah dengan permohonan agar dirinya dan keturunannya dijauhkan dari penyembahan berhala. Dalam ayat ini, beliau menyadari bahaya besar yang terkandung dalam penyembahan berhala, yang dapat menyesatkan hati dan pikiran manusia. Ibrahim tidak hanya memohon untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk anak cucunya, karena ia khawatir mereka akan terpengaruh oleh kebiasaan buruk masyarakat di sekitarnya yang banyak terjerumus dalam penyembahan berhala. Doa ini menunjukkan keprihatinan Ibrahim sebagai seorang bapak yang tidak hanya peduli terhadap keselamatan rohaninya, tetapi juga terhadap masa depan spiritual keluarga dan keturunannya.
Nabi Ibrahim dikenal sebagai seorang nabi yang teguh dalam imannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks ayat ini, beliau menolak keras segala bentuk penyembahan berhala. Hal ini merupakan bagian dari ajarannya yang konsisten untuk menyeru umat manusia agar hanya menyembah Allah yang Maha Kuasa. Penyembahan berhala pada zaman itu sangat dominan di kalangan masyarakat, dan Ibrahim berjuang keras untuk mengajarkan bahwa hanya Allah yang pantas disembah. Doanya menunjukkan bahwa beliau ingin melindungi generasi berikutnya dari kerusakan akidah yang bisa terjadi akibat pengaruh penyembahan berhala.
Kemudian Nabi Ibrahim melanjutkan doanya dengan menyatakan bahwa berhala-berhala tersebut telah menyesatkan banyak orang. Ibrahim sangat menyadari bahwa berhala tidak hanya menjadi objek penyembahan, tetapi juga simbol dari kesesatan yang meluas di kalangan umat manusia. Penyembahan berhala bukan hanya tindakan yang tidak benar, tetapi juga menyebabkan orang-orang yang menyembahnya jauh dari jalan yang benar, yaitu jalan yang telah Allah gariskan. Ibrahim memohon kepada Allah agar mereka yang mengikuti ajarannya—ajaran tauhid dan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa—akan selamat, sementara yang mendurhakai ajaran tersebut tidak akan mendapat petunjuk dan hidayah.
Di sini, Nabi Ibrahim mengungkapkan tanggung jawab besar yang diembannya sebagai seorang nabi. Beliau menyatakan bahwa siapa pun yang mengikuti ajarannya—yaitu penghambaan kepada Allah semata—akan termasuk golongannya. Ibrahim memandang dirinya sebagai pembimbing umat manusia menuju jalan yang benar, yang bebas dari penyembahan berhala. Namun, di sisi lain, beliau juga mengingatkan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pilihannya. Jika seseorang memilih untuk mendurhakai dan mengikuti penyembahan berhala, maka itu adalah konsekuensi dari pilihan mereka sendiri, dan mereka akan mendapatkan pembalasan sesuai dengan kehendak Allah.
Meskipun ada konsekuensi bagi orang yang mendurhakai ajaran tauhid, Nabi Ibrahim juga memohon agar mereka yang bersalah mendapatkan pengampunan dari Allah. Beliau menyebutkan bahwa Allah adalah Maha Pengampun (ghafūr) dan Maha Penyayang (raḥīm). Ini menunjukkan bahwa meskipun ada orang yang menyimpang, Allah tetap memiliki sifat Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat dan kembali kepada-Nya dengan penuh penyesalan. Doa ini tidak hanya mengungkapkan kekhawatiran Ibrahim, tetapi juga harapannya agar Allah memberikan kesempatan kepada setiap hamba-Nya untuk kembali ke jalan yang benar. Kasih sayang Allah yang tiada batasnya menjadi harapan terbesar bagi setiap umat manusia, termasuk mereka yang mungkin terjerumus dalam kesesatan. Wallahu al-Musta’an.