Judul Terbaru

    Back Groud MRB (atas)


     

    Pengumuman

    Jadwal Shalat

    Mewujudkan Ummatan Wasathan

    Jumat, 18 April 2025, April 18, 2025 WIB Last Updated 2025-04-18T08:53:01Z

     

    Oleh: Dr. H. Agustin Hanapi, Lc., MA
    Ketua Prodi Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry


    Dalam Q.S. al-Baqarah: 143 disebutkan,

    “Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”

     

    Ayat ini menerangkan tentang kualifikasi umat yang baik dengan menggunakan kalimat “ummatan wasathan”. Definisi “ummathan wasathan” jika diuraikan lebih lanjut ialah, bahwa kata ummat terambil dari kata (amma-yaummu) yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar kata yang sama, lahir antara lain kata um yang berarti “ibu” dan imam yang maknanya “pemimpin” karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.

    Mulanya kata wasath berarti segala yang baik dengan objeknya, atau sesuatu yang baik yang berada pada posisi di antara dua yang ekstrem. Misalnya, keberanian adalah pertengahan dari sifat ceroboh dan takut. Begitu juga dengan kedermawanan merupakan pertengahan antara sikap boros dan kikir. Kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakaan karena dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini kata wasath berkembang maknanya menjadi tengah.


    Pengertian Wasathiah

    Menurut para Mufasir, wasath mengandung lima pengertian.

    Pertama, baik atau yang terbaik. Imam al-Qurtubhi memaknai kata wasatha sebagai oase di tengah gurun pasir, perumpamaan mata air di tengah kegersangan, itulah ungkapan bagi ummatan wasathan yang bermakna khair al-ummah (umat terbaik). Kedua, bermakna utama atau sesuatu yang amat penting. Ketiga, umat yang adil. Keempat, seimbang. dan Islam merupakan agama yang seimbang dalam dunia dan akhirat. Kelima, moderat. Seseorang yang tidak ekstrem dalam berperilaku, baik dalam pengambilan keputusan maupun di dalam melaksanakan berbagai amalan termasuk dalam ibadah.

    Menurut imam Thabari, konsep "ummatan wasathan" dipahami sebagai “Umat yang terpilih”, namun tidak hanya itu, tetapi juga umat yang seimbang dalam segala hal. Yaitu umat yang memiliki sifat tengah-tengah, tidak terlalu condong kepada kepentingan dunia, tidak terlalu terikat pada kebutuhan jasmani, dan tidak mengabaikan sepenuhnya hal-hal yang bersifat duniawi.

    Sedangkan menurut buya Hamka, ummatan wasathan adalah umat Nabi Muhammad yang mengikuti jalan lurus, berada pada posisi tengah, tidak terpaku pada dunia sehingga tidak diperhamba oleh materi, namun juga tidak hanya memikirkan urusan rohani saja sehingga tidak dapat dijalankan karena tubuh kita masih hidup.

    Kata ummatan wasathan dalam Alqur’an mengandung konsep masyarakat ideal, yakni masyarakat harmonis atau masyarakat yang berkesinambungan. Dengan demikian, ummatan wasathan adalah umat moderat, yang posisinya berada di tengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru. Atau mengambil jalan tengah yang ditandai dengan tidak berlebihan maupun tidak berkekurangan dalam moderasi beragama.

    Dengan demikian, terdapat dua sifat utama ummatan wasathan, di antaranya yaitu: (1) al-khairiyyah, berorientasi pada yang terbaik, adil, dan afdhal; dan (2) al-Bainiyyah, moderat, pertengahan, dan tidak ekstrem.

     

    Keberadaan umat Islam dalam posisi “Tengah menyebabkan mereka tidak seperti umat yang hanyut oleh materialisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke alam ruhani sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material, dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas.

    Mereka dijadikan demikian menurut lanjutan ayat di atas agar mereka menjadi syuhada (saksi), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan nabi Muhammad saw sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.

    Ketika Rasulullah saw diutus di Jazirah Arab, misi yang dibawanya adalah untuk membangun sikap ummatan wasathan, sebuah umat yang menjalani jalan tengah, menerima realitas kehidupan, beriman pada akhirat, dan mengamalkannya di dunia ini. Mereka mencari kekayaan untuk mendukung keadilan, memperhatikan kesehatan fisik dan spiritual, mengasah kecerdasan pikiran melalui ibadah, serta berfungsi sebagai khalifah Allah di bumi sebagai bekal menuju akhirat, karena mereka akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah kelak. Selama umat ini tetap berada di jalan lurus (shiratal mustaqim), mereka akan tetap menjadi umat yang moderat

    Adapun cara mewujudkan ummatan wasathan yakni sebagai berikut.

    1.  Memahami ayat Alquran, hadis Rasulullah serta pendapat imam mazhab secara komprehensif. Artinya tidak sepotong-sepotong sehingga berdampak terhadap prilaku yang pada akhirnya merasa diri paling benar lalu menyalahkan orang lain dan minim toleransi padahal masih wilayah ijtihadiah


    2.  Kemudian dengan bersikap moderat, artinya tidak begitu longgar, juga tidak ekstrem. Di saat berwudhu misalnya tidak membiarkan air tumpah begitu saja tetapi menggunakannya seperlunya berdasarkan kebutuhan sehingga tidak terkesan mubazir

    3.  Melakukan segala sesuatu dengan Maksimal, artinya bekerja secara apik dan mutqin, bukan asal jadi dan lepas tanggung jawab

     

    4.   Menjaga keseimbangan duniawi dan rohani,

    Dalam sebuah Riwayat, Nabi saw pernah membantah sekelompok orang yang mengatakan: Orang pertama mengatakan, “Aku akan shalat dan tidak akan tidur”. Yang kedua mengatakan, “Aku akan terus berpuasa dan tidak berbuka”. Orang ketiga mengatakan, “Aku akan meninggalkan perempuan dan tidak akan menikah”

    Nabi saw mengatakan, “Kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku pun tidur, dan aku menikahi wanita. Siapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku”. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

    Di sisi lain kita sebagai umat Islam harus menjaga keseimbangan duniawi dan ukhrowi sebagaimana dalam Q.S.-al-Qashas: 77

    "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi".

     Dalam hidup ini kita sebagai umat Islam tidak boleh hanya fokus semata terhadap hal yang sifatnya duniawi lalu melupakan akhirat, misalnya terlalu fokus mengumpulkan materi sehingga abai terhadap salat lima waktu, enggan menunaikan zakat, dan lainnya.

    Begitu juga sebaliknya, tidak boleh hanya fokus terhadap akhirat lalu melupakan duniawi, silakan kita beribadah setekun mungkin seolah-olah kita akan meninggalkan dunia hari ini juga tetapi juga jangan lupa bahwa kita adalah seorang ayah yang memiliki kewajiban menafkahi istri dan anak. Artinya kita masih perlu menempatkan duniawi dan ukhrowi secara proporsional

    4.    Meningkatkan Toleransi

    Di saat melihat saudara kita yang berbeda keyakinan,  atau berbeda tatacara beribadah pada masalah yang sifatnya ijtihadiah, kita tetap harus berbuat baik, tidak boleh menampakkan sifat permusuhan apalagi tega menyakiti dan menumpahkan darah mereka

     

     

    Komentar

    Tampilkan

    • Mewujudkan Ummatan Wasathan
    • 0


    Jadwal Shalat

    ”jadwal-sholat”