
![]() |
Oleh: Dr. H. Agustin Hanapi, Lc., MA Ketua Prodi Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry |
Dalam Q.S. al-Baqarah: 143 disebutkan,
“Dan demikian (pula) Kami
menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu…”
Ayat ini menerangkan tentang kualifikasi umat
yang baik dengan menggunakan kalimat “ummatan wasathan”. Definisi “ummathan
wasathan” jika diuraikan lebih lanjut ialah, bahwa kata ummat terambil dari kata (amma-yaummu) yang berarti menuju, menumpu, dan
meneladani. Dari akar kata yang sama, lahir antara lain kata um yang berarti “ibu” dan imam yang maknanya “pemimpin” karena
keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.
Mulanya kata wasath berarti segala yang baik dengan objeknya, atau sesuatu yang baik yang berada pada posisi di antara dua yang ekstrem. Misalnya,
keberanian
adalah pertengahan dari sifat ceroboh dan takut. Begitu juga dengan kedermawanan merupakan pertengahan
antara sikap boros dan kikir. Kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakaan
karena dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini kata wasath berkembang maknanya menjadi tengah.
Pengertian Wasathiah
Menurut para Mufasir, wasath mengandung
lima pengertian.
Pertama, baik atau
yang terbaik. Imam al-Qurtubhi memaknai kata wasatha sebagai oase di
tengah gurun pasir, perumpamaan mata air di tengah kegersangan, itulah ungkapan
bagi ummatan wasathan yang bermakna khair al-ummah (umat terbaik).
Kedua, bermakna utama atau sesuatu yang amat penting. Ketiga, umat yang
adil. Keempat, seimbang. dan Islam merupakan agama yang
seimbang dalam dunia dan akhirat. Kelima, moderat. Seseorang yang tidak
ekstrem dalam berperilaku, baik dalam pengambilan keputusan maupun di dalam
melaksanakan berbagai amalan termasuk dalam ibadah.
Menurut
imam Thabari, konsep "ummatan wasathan" dipahami sebagai “Umat
yang terpilih”, namun tidak hanya itu, tetapi juga umat yang seimbang dalam
segala hal. Yaitu umat yang memiliki sifat tengah-tengah, tidak terlalu condong
kepada kepentingan dunia, tidak terlalu terikat pada kebutuhan jasmani, dan
tidak mengabaikan sepenuhnya hal-hal yang bersifat duniawi.
Sedangkan
menurut buya Hamka, ummatan wasathan adalah umat Nabi Muhammad yang
mengikuti jalan lurus, berada pada posisi tengah, tidak terpaku pada dunia
sehingga tidak diperhamba oleh materi, namun juga tidak hanya memikirkan urusan
rohani saja sehingga tidak dapat dijalankan karena tubuh kita masih hidup.
Kata
ummatan wasathan dalam Alqur’an mengandung konsep masyarakat ideal,
yakni masyarakat harmonis atau masyarakat yang berkesinambungan. Dengan demikian, ummatan wasathan adalah umat moderat, yang posisinya
berada di tengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru. Atau mengambil jalan tengah yang ditandai dengan tidak
berlebihan maupun tidak berkekurangan dalam moderasi beragama.
Dengan demikian, terdapat dua sifat utama ummatan wasathan,
di antaranya yaitu: (1) al-khairiyyah, berorientasi pada yang terbaik,
adil, dan afdhal; dan (2) al-Bainiyyah, moderat, pertengahan, dan
tidak ekstrem.
Keberadaan umat Islam dalam posisi “Tengah” menyebabkan mereka tidak seperti umat
yang hanyut oleh materialisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke
alam ruhani sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan
mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material, dan spiritual dalam
segala sikap dan aktivitas.
Mereka dijadikan demikian menurut
lanjutan ayat di atas agar mereka menjadi syuhada (saksi), sekaligus menjadi
teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan
nabi Muhammad saw sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua
aktivitasnya.
Ketika
Rasulullah saw diutus di Jazirah Arab, misi yang dibawanya adalah untuk
membangun sikap ummatan wasathan, sebuah umat yang menjalani jalan
tengah, menerima realitas kehidupan, beriman pada akhirat, dan mengamalkannya
di dunia ini. Mereka mencari kekayaan untuk mendukung keadilan, memperhatikan
kesehatan fisik dan spiritual, mengasah kecerdasan pikiran melalui ibadah,
serta berfungsi sebagai khalifah Allah di bumi sebagai bekal menuju akhirat,
karena mereka akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah kelak. Selama umat ini
tetap berada di jalan lurus (shiratal mustaqim), mereka akan tetap menjadi umat
yang moderat
Adapun cara mewujudkan ummatan
wasathan yakni sebagai berikut.
1. Memahami ayat Alquran,
hadis Rasulullah serta pendapat imam mazhab secara komprehensif. Artinya tidak sepotong-sepotong
sehingga berdampak terhadap prilaku yang pada akhirnya merasa diri paling benar
lalu menyalahkan orang lain dan minim toleransi padahal masih wilayah
ijtihadiah
2. Kemudian dengan bersikap
moderat, artinya tidak begitu longgar, juga tidak
ekstrem. Di saat berwudhu misalnya tidak membiarkan air tumpah begitu saja
tetapi menggunakannya seperlunya berdasarkan kebutuhan sehingga tidak terkesan
mubazir
3. Melakukan segala sesuatu
dengan Maksimal, artinya bekerja secara
apik dan mutqin, bukan asal jadi dan lepas tanggung jawab
4. Menjaga keseimbangan duniawi dan rohani,
Dalam sebuah Riwayat, Nabi saw pernah membantah sekelompok orang yang mengatakan: Orang pertama
mengatakan, “Aku akan shalat dan tidak akan tidur”. Yang kedua mengatakan, “Aku akan terus berpuasa dan
tidak berbuka”. Orang ketiga mengatakan, “Aku
akan meninggalkan perempuan dan tidak akan menikah”
Nabi saw mengatakan, “Kalian yang mengatakan demikian dan
demikian? Sesungguhnya aku adalah orang yang
paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku
berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku pun tidur, dan aku menikahi wanita.
Siapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku”. (HR.
Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Di sisi lain kita sebagai umat Islam harus menjaga
keseimbangan duniawi dan ukhrowi sebagaimana dalam Q.S.-al-Qashas: 77
"Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi".
Dalam
hidup ini kita sebagai umat Islam tidak boleh hanya fokus semata terhadap hal
yang sifatnya duniawi lalu melupakan akhirat, misalnya terlalu fokus
mengumpulkan materi sehingga abai terhadap salat lima waktu, enggan menunaikan
zakat, dan lainnya.
Begitu juga sebaliknya, tidak boleh hanya fokus terhadap akhirat lalu
melupakan duniawi, silakan kita beribadah setekun mungkin seolah-olah kita akan
meninggalkan dunia hari ini juga tetapi juga jangan lupa bahwa kita adalah
seorang ayah yang memiliki kewajiban menafkahi istri dan anak. Artinya kita
masih perlu menempatkan duniawi dan ukhrowi secara proporsional
4.
Meningkatkan Toleransi
Di saat melihat saudara kita
yang berbeda keyakinan, atau berbeda
tatacara beribadah pada masalah yang sifatnya ijtihadiah, kita tetap harus
berbuat baik, tidak boleh menampakkan sifat permusuhan apalagi tega menyakiti
dan menumpahkan darah mereka